Rindu adalah bayang-bayang yang tak pernah punya tubuh. Ia
lahir dari api yang tak terlihat, membakar hati tanpa suara, tanpa warna, tanpa
wujud. Namanya tertulis di dahan-dahan patah, di mana kehidupan pernah
menjanjikan sebuah pertumbuhan. Rindu juga bersemayam dalam hujan yang lupa
turun, menggantung di langit yang abu-abu, menggigil dalam penantian tanpa
akhir.
Ia adalah labirin, sebuah ruang
yang penuh liku, gelap, dan melilit. Rindu menuntunku melangkah, tapi tidak
pernah membawaku ke tujuan. Lorong-lorongnya seperti napas yang mencabik-cabik
kesadaran, menghapus batas antara kenyataan dan harapan. Aku mencoba berjalan
keluar, tetapi langkah-langkahku hanya membawa kembali ke kehampaan. Sebuah
lingkaran tak berujung, sebuah perjalanan tanpa peta.
Rindu juga adalah kuburan. Tempat
di mana aku dan kau menjadi batu: keras, dingin, diam. Di atas tanahnya,
barisan puisi yang tidak selesai tertulis dengan tinta air mata. Kata-katanya
bergetar, tapi tak pernah cukup kuat untuk menghidupkan kembali yang telah
pergi. Sunyi menjadi penghuni abadi, melingkupi ruang dengan hening yang
menyayat. Setiap hembusan angin terasa seperti bisikan kehilangan, mengingatkan
bahwa kepergianmu tak pernah benar-benar kuterima.
Namun, ini bukan sekadar tentang
cinta atau rindu semata. Ini adalah tentang kehilangan yang tak bisa mati.
Kehilangan yang terus hidup dalam setiap denyut nadiku, setiap tarikan napasku.
Kehilangan yang menjelma menjadi bayangan abadi, mengikuti ke mana pun aku
pergi. Ia adalah luka yang tidak berdarah, sebuah kenangan yang terus menusuk
tanpa peringatan.
Rindu, cinta, dan kehilangan
adalah sebuah trilogi yang saling melengkapi. Mereka adalah bagian dari
perjalanan manusia, bagian dari hati yang pernah mencintai begitu dalam hingga
terasa mustahil untuk melepaskan. Namun, aku tahu, di dalam rindu ini ada pelajaran,
ada kekuatan yang perlahan membangun kembali jiwa yang retak.
Mungkin rindu memang tidak pernah
bisa dihapuskan, hanya bisa dijinakkan. Ia akan terus menjadi bayangan,
labirin, dan kuburan, tapi aku belajar untuk berdamai dengannya. Karena dari
rindu ini, aku tahu bahwa aku pernah mencintai dengan begitu hebat. Dan
meskipun kehilangan telah merenggut segalanya, cinta itu tetap ada—menghidupkan
rindu yang meski menyakitkan, tetap indah dalam keabadiannya.
Rindu akan tetap bernyanyi, di
dahan yang patah dan di hujan yang lupa turun. Ia akan terus hidup dalam napas
dan langkahku, mengingatkan bahwa kehilangan bukan akhir, melainkan bagian dari
perjalanan hati. Karena dalam setiap bayangan yang rindu tinggalkan, ada sebuah
harapan kecil untuk bertemu lagi, entah di mana, entah kapan, entah dalam
kehidupan ini atau yang berikutnya.