Saat gemuruhnya tak lagi berdasar, aku tak selamanya bisa bertahan seperti akar yang menghujam tanah. Ada kalanya aku goyah, diterpa angin kehidupan yang terus-menerus mencoba menggugurkan keyakinanku. Meski bagi sebagian orang ini mungkin hanya kelakar, bagiku semua ini nyata—luka yang menumpuk, keraguan yang menjalari, dan perjuangan untuk tetap tegak berdiri. Aku seolah-olah menjadi ratu dari kedukaan, mendekap kesedihan erat-erat, hingga setiap hari adalah cermin dari perih yang kadang tak terucapkan.
Namun, di tengah rasa sakit yang menumpuk, aku menyebut ini hidup. Aku memilih untuk tetap menghirupnya, meski kadang terasa seperti menelan bara. Ada kebebasan di sana—kesempatan untuk belajar menerima segala rasa, baik suka maupun lara. Hidup ini bagiku bukan hanya sekadar deretan peristiwa yang mendatangkan kecewa. Ia juga buana, dunia tanpa batas di mana aku bisa menemukan ruang untuk menjadi leluasa. Tidak ada yang mengatur bagaimana aku harus merasa, tidak ada aturan tentang kapan aku harus menangis atau tertawa.
Separuh dari diriku masih ada di sini, di tempat yang penuh dengan kenangan, mimpi yang tertunda, dan harapan yang belum pudar. Aku memilih untuk tetap berdiam, tidak melarikan diri dari realita. Karena bagaimanapun, aku tahu, setiap luka yang kupunya akan menjadi bagian dari cerita yang kelak akan kugenggam dengan bangga. Bagian dariku ingin mengabadikan semua rasa—rasa sakit, kegagalan, juga kebahagiaan yang mungkin hanya datang sesekali. Sebab dengan begitu, aku tetap hidup, bukan sekadar bernafas, tapi benar-benar merasa.
Dalam setiap perjalanan, ada masa-masa ketika aku ingin menyerah. Tetapi aku tahu, menyerah bukanlah akhir, melainkan jeda sementara sebelum aku melangkah lagi. Di setiap kegagalan, selalu ada ruang untuk belajar, dan di setiap rasa sakit, selalu ada pintu menuju penyembuhan. Mungkin aku tak selalu kuat, tak selalu tegar, dan tak selalu baik-baik saja. Namun, itu bukanlah sebuah kelemahan, melainkan bukti bahwa aku manusia—hidup, mencinta, terluka, dan tumbuh.
Aku ingin mengabadikan hidupku bukan hanya dalam kebahagiaan, tetapi juga dalam kerelaan menerima apa yang tak bisa kuubah. Aku memilih untuk menjadi abadi dalam perjalanan ini—bukan sebagai sosok sempurna yang tak pernah terluka, tetapi sebagai seseorang yang selalu bangkit, meski terjatuh berkali-kali. Di tengah gemuruh dunia yang kadang tak berdasar, aku memilih untuk tetap bernapas, menari di antara luka dan harapan, sampai akhirnya aku menemukan damai di dalam diriku sendiri.