Aku menyadari bahwa memaksanya untuk mencintaiku adalah
kesalahan yang lahir dari ketakutanku sendiri. Kadang, ada masa saat aku
terjebak dalam angan, berharap jika saja dia bisa melihat betapa tulus perasaanku.
Namun, pada akhirnya, apa yang kita paksakan hanya akan membawa luka bagi kita
berdua. Sering aku berkata pada diri sendiri, “Love cannot be forced, it must
come willingly”. Tapi siapa yang benar-benar mendengarkan aku saat hati terlalu
kuat berbisik?
Setiap kali aku mencoba menarik perhatiannya, ada bagian
dariku yang tahu aku sedang melangkahi batas. Aku sedang melawan kehendaknya,
dan mungkin kehendak Tuhan juga. Tak peduli seberapa sering aku berusaha
menjadi yang terbaik, kenyataannya cinta bukanlah sesuatu yang bisa digapai
dengan usaha semata.
Ada kemurnian dalam cinta yang hanya akan terjaga bila ia lahir
secara alami. Memaksakan kehadiranku di hatinya sama saja dengan membangun
harapan di atas dasar yang rapuh. Aku pernah percaya dengan menjadi sosok yang
lebih sempurna, dia akan melihatku. Aku berpikir bahwa semua pengorbananku akan
membuatnya berbalik dan mencintaiku. Namun, aku akhirnya belajar, cinta tak
bisa diukur dari seberapa keras aku mencoba.
Cinta sejati akan tumbuh tanpa harus disirami dengan paksaan.
Menginginkan cinta dari orang yang bahkan tak ingin berada dalam hidupku, hanyalah
cara bagiku untuk berlari dari kenyataan pahit. Because, love is not possession.
It is free, it grows only when allowed to breathe.
Ada hari-hari ketika aku merasa kecewa pada diriku sendiri. Mengapa aku harus memaksa dia untuk mengerti, padahal dia sendiri tidak pernah meminta? Rasanya seperti berdiri di tepi jurang, berharap dia akan melangkah dan menggenggam tanganku. Padahal, tidak ada jaminan bahwa dia akan melakukannya. Cinta yang dipaksakan hanyalah refleksi dari ketidakmampuan kita menerima kenyataan.
Aku sadar sekarang, bahwa perasaan ini adalah ujian untuk
melepaskan. Karena terkadang, mencintai seseorang berarti melepaskan.
Beberapa kali aku sering bertanya pada diri sendiri, apakah
cintaku murni atau malah egois. Apakah aku sungguh mencintainya, atau sekadar
ingin memilikinya sebagai pelengkap kebahagiaan diri? Cinta sejati bukanlah tentang
mengikat, tetapi memberi kebebasan untuk memilih. Jika aku terus memaksa,
bukankah itu hanya menjadi bentuk lain dari kepemilikan yang posesif?
Aku mulai belajar, bahwa mencintai seseorang tak berarti memiliki mereka. Bagaimana pun juga, memaksanya untuk mencintaiku hanya akan mengubah cinta yang indah ini menjadi beban bagi kami berdua.
Cinta yang tak
datang dengan sendirinya akan berubah menjadi luka, baik bagiku maupun baginya.
You can’t make someone love you by giving them more of what
they already don’t appreciate.
Kini, aku mencoba untuk menerima semua kenyataan. Tidak semua
orang yang kita cintai akan membalas perasaan kita. Mungkin, cinta ini hadir
bukan untuk dijalani bersama, tapi untuk mengajarkan sesuatu yang lebih besar,
misalnya ketulusan?
Aku memilih untuk berhenti berharap pada balasan, dan mulai
mengerti bahwa cinta bisa tetap hidup meski tanpa kepemilikkan. Dengan cara
ini, aku bisa menjaga keindahan perasaan ini, dan memberi ruang pada diriku untuk
beranjak.