Hari ini hujan turun, dan seperti biasa aku basah di perjalanan. Kupacu kendaraanku di tengah gemuruh langit, sementara pikiranku kacau tak keruan. Udara dingin menggigit, tapi kulitku seolah mati rasa—bukan karena hujan, melainkan karena ada sesuatu yang lebih membekukan: kenangan tentangnya. Sosok yang dulu begitu berarti kini hanya tinggal bayangan samar, dan aku bertanya-tanya, apakah kehilangan selalu sesakit ini bagi setiap orang?
Ini bukan akhir dunia, tapi perihnya tak jauh berbeda. Seperti sebuah jurang yang tiba-tiba menganga dan menelanku bulat-bulat. Aku tahu aku harus bertahan, tapi apa artinya bertahan ketika hati yang dulu menjadi sandaran tak lagi kumiliki? Ia pergi malam itu, dan aku hanya mampu menatap punggungnya menjauh, membawa serta bagian terbaik dari hidupku. Aku gagal menahannya, dan sejak itu, ada ruang kosong di dalam diriku yang tak bisa terisi lagi.
Hujan menampar wajahku, mengingatkanku bahwa dulu, hidupku berwarna bersamanya. Ia seperti pelangi setelah badai, menghadirkan keindahan tanpa diminta. Kini, yang tersisa hanya aku dan hujan—teman bisu yang tak pernah menawarkan penghiburan. Dia telah melanjutkan hidupnya, sementara aku tertinggal, berusaha bertahan dalam sunyi dan kenangan. Langkahku terasa gontai, dan meski aku mencoba mengejarnya, ia terlalu cepat. Jejaknya lenyap, meninggalkan aku tanpa arah.
Aku tahu aku harus kuat, tapi tak bisa kupungkiri bahwa aku masih membutuhkan seseorang. Bukan sekadar teman, tapi seseorang yang bisa menjadi rumah bagi hatiku—tempatku bersandar saat dunia terasa berat. Ia pernah menjadi sosok itu. Dengan cara yang tak bisa dilakukan siapa pun, ia merapikan pikiranku yang berantakan, menenangkanku saat semua terasa kacau. Bahkan dalam tidurku, kehadirannya membuatku merasa aman. Bersamanya, pagi terasa lebih segar dan hari-hari lebih mudah dijalani.
Aku telah mencoba, telah mengatakan semua yang ada di hatiku, sejujur mungkin. Tapi itu tak cukup. Rasa sakit di hatinya tetap ada, dan aku tak mampu memperbaikinya. Bahkan di saat-saat terakhir, aku tak bisa memeluknya, seolah ada dinding tak kasatmata yang memisahkan kami. Kini, di setiap waktu luang, tanganku menggenggam ponsel, menatap ruang obrolan yang kosong—bekas medan cinta kami yang dulu riuh dengan pesan-pesan manis. Namun, tidak ada lagi sapaan lembut di pagi hari, tidak ada lagi obrolan panjang menemani malam. Yang tersisa hanyalah jejak kenangan dalam kotak pesan yang kini bisu.
Setiap kali membayangkan dia bahagia dengan orang lain, hatiku serasa dihancurkan berkeping-keping. Bagaimana bisa seseorang yang pernah membuatmu merasa paling dicintai, kini mencintai orang lain dengan cara yang sama? Rasanya seperti dilucuti dari sebuah perasaan istimewa yang pernah menjadi milikmu seorang. Ada kebahagiaan yang harus kuikhlaskan, meski sesungguhnya itu menghancurkanku pelan-pelan.
Dan di tengah semua rasa kehilangan ini, aku sadar: tidak ada yang benar-benar "baik-baik saja." Terkadang kita berpura-pura kuat, berharap waktu akan menghapus luka, tapi kenyataannya tidak selalu demikian. Kehilangan bukan hanya tentang berakhirnya hubungan, tetapi tentang menemukan kembali diri sendiri di tengah puing-puing perasaan yang terserak. Aku masih mencari, mencoba menerima bahwa kadang cinta tak berarti memiliki. Yang tersisa hanyalah kenangan, dan harapan bahwa di suatu tempat, di antara hujan dan sunyi, aku juga akan menemukan caraku untuk bahagia kembali.