Kamu mencoba meyakinkan dirimu sendiri bahwa ini adalah bentuk cinta yang paling matang. Cinta yang rela melepaskan tanpa menuntut balasan. “Aku hanya ingin ada untukmu,” katamu dengan keyakinan yang hampir meyakinkan. Namun, jauh di dalam hatimu, kamu tahu kebenaran yang tak ingin kamu hadapi. Keheningan yang menyelimuti tawaranmu adalah jawaban yang tak pernah diucapkan. Ketika dia tidak pernah menghubungi, tidak pernah meminta apa pun, kamu mulai menyadari bahwa tawaranmu, sebaik apa pun, tak pernah memiliki tempat di dunianya lagi. Kamu berbicara pada kehampaan, seolah-olah bisa menghidupkan sesuatu yang telah lama mati.
Patah hati, ternyata, bukan hanya soal menunggu seseorang kembali. Itu tentang berdamai dengan kenyataan bahwa tidak semua cinta memiliki akhir yang indah. Kamu menawarkan kehadiranmu, berusaha menjadi tempat berlindung, tetapi tidak ada yang bisa memaksa seseorang untuk tetap tinggal atau membutuhkannya. “Aku tidak akan terganggu,” katamu, seolah-olah itu bisa menjadi perisai dari rasa sakitmu sendiri. Tapi setiap kali teleponmu tetap sunyi, setiap kali pesan tak pernah terkirim, kamu semakin tenggelam dalam kenyataan pahit bahwa tawaranmu hanya menggantung di udara, tak pernah diambil.
Pada akhirnya, kamu hanya tinggal bersama dirimu sendiri, menggenggam cinta yang tak lagi memiliki tujuan. Kamu berdiri di depan pintu yang selalu terbuka, berharap seseorang akan kembali, meski tahu bahwa langkah itu mungkin takkan pernah lagi terdengar. Pintu itu tidak terbuka untuk siapa pun, hanya untuk angin dingin dari kenangan yang terus berhembus. Dan kamu, dalam kesunyian itu, mulai menyadari bahwa patah hati bukan hanya tentang kehilangan seseorang. Itu adalah tentang kehilangan harapan yang kamu bangun sendiri, harapan yang menjadi beban ketika tidak ada yang datang untuk mewujudkannya.