Dalam keheningan yang merambat begitu cepat, dunia dalam pikiranku terasa tercerabut dari kenyataan. Segala hal yang dulunya penuh harapan, kini perlahan memudar, tenggelam dalam gelombang keputusasaan yang semakin kuat. Hujan turun tanpa henti, petir bergemuruh di kejauhan, seakan setiap kilatannya menyambar sisa-sisa harapan yang masih tersimpan dalam hatiku. Aku berdiri di tengah badai ini, mencoba mencari pegangan, namun semua tampak suram. “Aku tidak apa-apa,” gumamku lirih, namun suara itu terbang bagai angin sepoi yang tak mampu menembus dinding kesendirian yang kukenakan. Kata-kata itu, meskipun keluar dari bibirku, terasa hampa dan tidak meyakinkan—bahkan bagiku sendiri.
Kesenangan palsu sering kali kuhadapi dengan senyum yang dipaksakan, tapi di balik topeng itu, aku tahu betapa luka di dalam kepala ini terus menganga, menuntut perhatianku. Pikiran yang kusut dan tidak menentu seolah memperlihatkan sebuah pasar yang bising—pasar di mana tawar-menawar luka terus terjadi tanpa akhir. Tidak ada jeda, tidak ada ruang untuk bernapas. Seiring waktu, aku mulai merasa bahwa tidak ada lagi harapan untuk bahagia. Setiap langkah yang kuambil seakan semakin jauh dari cahaya. Tidak ada jaminan kebahagiaan, tidak ada rasa keberlimpahan yang mungkin datang untuk meredakan kegelisahan ini.
Jalanku kini terasa semakin gelap dan menakutkan. Setiap kali aku mencoba melangkah, lorong yang kutempuh hanya membawa ku lebih dalam ke dalam kegelapan. Di tengah perjalanan ini, aku mulai kehilangan orientasi, seakan lupa akan suara kecil di dalam hatiku yang selama ini selalu mencoba membimbing. Suara keberanian yang dulu pernah ada, kini nyaris tidak terdengar. Aku merasa amnesia terhadap keberanian itu—keberanian untuk menatap kegelapan tanpa kehilangan harapan. Rasanya seperti ada tembok tinggi yang memisahkanku dari diriku yang sebenarnya, dari keyakinan bahwa aku mampu melaluinya.
Namun, dalam kegelapan yang pekat itu, aku menyadari bahwa masih ada sebuah cahaya kecil yang menuntun. Cahaya itu bukanlah terang yang menyilaukan, melainkan sekadar sebuah kilauan samar yang harus kuraba-raba setiap sudut untuk menemukannya. Dengan hati-hati, aku mencoba menggapai cahaya itu, meskipun jalannya terasa penuh ketidakpastian. Di setiap langkahku, ada suara kecil dalam benakku yang mulai kembali terdengar. Itu adalah suara keberanian, suara yang meneguhkan bahwa di dalam setiap kegelapan, selalu ada secercah harapan yang siap ditemukan.
Aku mulai menyadari bahwa meskipun lorong ini terasa panjang dan menakutkan, aku masih memiliki kekuatan untuk terus melangkah. Dengan keteguhan hati, aku mulai menelusuri setiap sudut, mencari celah cahaya yang dapat membawaku keluar dari kegelapan ini. Dan meskipun langkah-langkahku mungkin pelan dan penuh keraguan, aku tahu bahwa di ujung lorong ini, ada cahaya yang lebih terang yang menunggu. Harapan, meski redup, tetap ada. Dan aku tidak akan menyerah untuk menemukannya.