Bias ronamu manjakan netra yang tengah meratap sekeliling. Kulihat
jingga yang memudar, semburatnya tak lagi menyilaukan. Ada tatap sendu
menggeluti hati yang mulai perih mengiris. Mengajakku untuk berdiskusi, tentang
sebuah awal dan akhir. Pertemuan dan perpisahan, walau sedikitpun aku tidak
mendengarnya. Hanya bahasa tubuh yang meyakinkan aku tentang apa yang tersirat
di hati.
Sementara tanganku penuh dengan tinta, aku biarkan saja
semuanya kotor bersama surat yang aku titip kepada merpati senja. Lembayung senja
mengajakku menghela nafas panjang seraya berbisik “Sentuhlah aku kalau kau mampu,
dan hentikan jika imanmu rapuh”. Lembayung senja, jika nanti engkau perlahan
raib dari pandang, setidaknya bawa serta kenangan terakhirku di senja yang
kelabu.
Iya, namamu masih menggemai sujudku. Meskipun aku tahu, kau
bukan milikku.