Pada kisah gundah yang tak sudah, kau masih saja jadi sesuatu
yang bermakna—meluka. Padahal sudah diberi kesempatan untuk kembali saling
menenangkan, tapi apalah kuasa, kita tetap pada jalur percaya bahwa bersama
bukan cara terbaik untuk bahagia.
Kita tak lagi saling menanti, hanya mampu mencandui masa-masa
saat masih bersama. Tersadar, kemesraan yang diidam-idamkan nyatanya tidaklah
lama. Namun tetap meyakinkan diri bahwa kasih yang kemarin bukan sekedar ilusi,
tetapi sungguh. Walau sulit dilupakan, menata kembali bukan lagi harapku.
Sebab, sekalipun kau kembali, aku tidak lagi mendapatkan aku yang dulu kau
kenali.
Pahamilah, namamu masih membekas di mimpi-mimpi indahku, pun
senyummu masih saja membayangi bait demi semoga doaku. Padahal kita telah mengubah
semua daya dan asa menjadi seribu keping derita, tapi tetap saja ada celah
untuk hati kembali meraja-meratukan rindu yang semestinya semu.
Biarlah ini menjadi sudah (tak) yang disengaja, biarkan ia
berlalu bersama waktu menua duka. Sememangnya kita hanya sedang kebingungan
dengan segala yang dirasa, hampa untuk kembali bersama, juga terlalu lara untuk
saling melupa. Mematung masing-masing
penyesalan diri, tak lagi mampu kembali, tak juga mampu pergi, tak ada kata
kita yang benar-benar saling melengkapi bahagia lagi.