Bagaimana aku bisa melupakanmu, sedangkan memeluk diri
sendiri saja belum lagi mampu. Walau berulang kali tersungkur, tetap tegak dan
kerasnya rasa syukur, tak lagi mampu meyakinkanku bahwa kau bukan yang Tuhan
inginkan 'tuk jadi teman masa tuaku.
Masih membekas—keras ucapan yang tak sengaja aku luahkan
"Bertahanlah, kita ubah takdir yang bukan sebenarnya takdir!". Kalah,
benar patah dan hampir lumpuh tak cukup menyadarkan bahwa Tuhan tak menyukai
arogannya sebuah impian. Terlambat sadar, tak cukup mampu sabar, hingga sedikit
hilang akal. Aku masih saja menjadikanmu objek doa terbaikku.
Seindah violin menyayatkan melodi demi melodi sendu, kau
adalah fatamorgana yang paling membuatku betah memilu. Aku tak peduli seberapa
jauh pergimu, ikhlas yang paling sungguh tidak akan pernah jadi penghalang
merindukan—membiarkan hati tenggelam hingga ajal karam.