Aku mendapatimu dalam khayal terpaling teduh, tapi rapuh.
Mengabadikan keajaiban harap bersama, membantah takdir yang sentiasa mengakal
bahwa kau mutlak berpunya. Nyatanya, bingung adalah tempat ternyaman untuk
menafsirkan segala tanya—petaka kemana kita akan abadi selanjutnya.
Nanti dulu, aku tak berharap ada kita lagi di kisah kali ini.
Namun, terpaling mampu kutulis sejauh sekarang adalah kau, segala macam perkara
kita tujuannya yaitu kau. Tak ada pertanda terpaling istimewa, tak juga mampu
membujuk pikiran kalau overdosis rangkaian patah yang kau tinggalkan
buruk tabiatnya, tapi jika tidak berujuk itu semua, kesempurnaan harap kita
mungkin tak akan pernah terucap hingga luluh pada satu realita—luput bahagia.
Tak mungkin secepatnya berakhir, puisi utopia tentangmu akan
terus terukir. Segala macam sudut luka, segala bentuk tawa, pun segala apa yang
coba kau lupa—terus mengalir tanpa sekat sembuh sebelum benar-benar tentram
ikhlas terpaling getir.
