Ketika banyak kepergian telah
membuatmu tak lagi menaruh rasa percaya pada pertemuan, kita tahu, bahwa memang
terlalu sulit rasanya tetap membuka hati bahkan saat teman-temanmu pun seolah
meninggalkanmu. Mungkin kau pernah bertahan, seperti sekawanan burung yang
melakukan perjalanan namun kau menjadi yang tertinggal jauh di belakang, dan
hanya melewati cuaca buruk itu sendirian.
Pernah sesejuk embun hatimu
merasa, tapi berubah panas saat matahari telah naik terlalu tinggi di atas
kepala. Pikiranmu pernah setenang permukaan di samudera, namun sesuatu yang tak
bisa dirimu raih membuatmu jatuh begitu dalam. Yang kau genggam hancur di kaki
waktu, hatimu seperti gigi roda, kau mempercayakan sepenuhnya pada orang-orang,
namun mereka hanya membuatnya berkarat.
Kadang kau juga bertanya ketika
malam sudah menjadi terlalu diam, mencari segala kemungkinan namun yang kau
dapati sebagai jawaban hanyalah tak ada yang akan bertahan selamanya. Dan itu
hanya memperburuk apa yang kau rasakan. Pernah sekeras batu dirimu bertahan,
sehalus debu perasaanmu berantakan kemudian. Kau berpikir mungkin nanti, akan
datang satu hari yang menyempurnakan semua mimpi.
Saat hujan telah pergi dan
mendung tak lagi terpajang di langit kotamu, bersabar menanti purnama atau
kembali belajar untuk menyukai senja yang hanya datang sebentar, dan kau sadar
itu hanyalah kalimat penenang yang kau nyanyikan teruntuk dirimu sendiri. Luka,
kadang terlalu sukar diterima, tak mudah diterka, namun itulah yang mampu
mengajarimu untuk waspada, juga kuat menghadapi dunia yang terkadang tak ramah.