Redakanlah hujan yang sedang
jatuh saat ini, atau di malam nanti. Datang dan bisikkan kata ke telinganya
yang sedang terduduk, meskipun itu hanya sekadar ucapan selamat malam. Karena
seseorang itu telah kehilangan kekuatannya. Atau, berlarilah saja sejauh
mungkin. Sejauh yang mampu membawa bayang-bayang seseorang itu dari khayalannya.
Dia lelah berjalan, dengan apa yang tak ingin selalu ia bawa.
Berikan dia penghapus atau pun
dinding pembatas beton. Apa saja asalkan itu mampu menghapus ingatannya. Apa
pun itu asal kuat menghalau pandangan matanya. Ia muak menatap kepergian yang
mengacaukan pikirannya. Persembahkan ia jarum dan benang. Bukan untuk menjahit
atau menutup luka-lukanya yang menganga. Namun untuk menyumbat mulut dan
membungkam suara di hatinya.
Karena nama yang ia sebut, dan
rindu yang ia tanggung begitu berbahaya. Jadi jika dirimu peduli, maka
datanglah dan lalu patahkan saja tulang-tulangnya. Beri ia rasa sakit sekali
lagi untuk menutupi rasa sakitnya yang lain. Yang jauh lebih sakit. Angkat
semua sentuhan yang telah kau kubur di bawah kulitnya, kata yang kau tanam di
ingatannya, racuni semua kebersamaan yang pernah kau bawakan padanya. Ia
sekarat karena semua yang telah membuatnya merasa hidup.
Dia hanya berharap kau tidaklah
pernah menjadi temannya, agar dia memiliki alasan untuk mengapa harus teramat
membencimu. Ciuman yang dirimu berikan, semestinya tidak menyakitnya hingga
sekarang. Terkadang kita belum akan memulai untuk terlalu mencintai seseorang,
sampai saat di mana kau diminta untuk membencinya.
Waktu membuat mereka tertanam
begitu dalam di hatimu, dan setelah berakar, itu adalah sesuatu yang akan kau
cabut dengan tanganmu. Akhirnya dia mengerti, cinta hanyalah alasan di balik
kemarahan.