Tak lagi dapat kubuat mereka melihat, mendengar, atau bahkan ingin mengintip. Yang jangankan untuk melirik, merayunya agar berniat saja kini tak lagi tertarik, meskipun hanya dengan bernuansakan sekadar. Sejak hari-hari mendung itu, beberapa ketergantian telah kuselami kemarin. Namun bukannya akalku bugar, tapi malah intuisiku melumpuh.
Sejak saat gubuk tua tempat berjuta ibu dan pak tani menyemai padi juga ubi, itu lenyap terbawa oleh badai di musim semi. Padahal cuaca masih enggan tuk berganti. Malam tak lagi pernah bisa diam. Sunyi tak lagi mau untuk bersembunyi. Bahkan ramai tidaklah lagi pernah mau untuk bising. Sekalipun anak yang gemar bermain itu kuajak bermain, dia enggan padahal semangatnya sedang gencar-gencarnya.
Kupikir aku sakit, rupanya sehat walafiat. Tubuhku diam di tempat tapi kakiku malah mengajak untuk berlari. Mulutku bisu namun lidahku masih lihai menari-nari. Entah bagaimana pena mendefinisikannya, tak juga kutemukan kuas atau kanvas untuk kata-kata. Untuk melukis, menghapus, atau bahkan membiaskannya. Mungkinkah pencernaanku terganggu, namun kenapa oralku tak dapat berhenti untuk selalu menelan?
Tidaklah mungkin perihal rasa nyaman yang hilang, smentara tubuh masih senang dengan keadaan yang memeluk riang. Bahkan cahaya di dekapan lampu jalan itu masih terang di pandangan. Semua terlihat seperti tidak mungkin. Dan adakah siluetku yang terletakkan di peti, yang meskipun tak terbawa namun masih tersimpan tertutup dengan rapih? Inginku mengambilnya lalu merobeknya.
Hingga merubahnya jadi api yang mengabu, agar dapat kulahirkan lagi
diriku setelah menelan semua sisa pembakarannya. Adakah senyum mereka di ujung
bukit elegi yang senantiasa merekah? Inginku meraihnya walau tanganku terlumuri
gigilnya embun di gelapnya pagi. Kan kubawakan juga ia kertas, menyulamnya
hingga habis walau robek juga akhirnya semua lembar yang kukemas. Mawar-mawar
itu enggan lagi tumbuh di sini. Tidak sekalipun benalu. Sekalipun juga ilalang,
lenyap.